readbud - get paid to read and rate articles GEMAR AKUNTANSI: DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN PEMERATAAN PEMBANGUNAN
Powered By Blogger

Sabtu, 09 April 2011

DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN PEMERATAAN PEMBANGUNAN

1.               PENGERTIAN
Distribusi pendapatan adalah pembagian pendapatan yang menggambarkan bagian dari pendapatan yang diterima oleh para pemilik factor produksi, dengan demikian distribusi pendapatan tentu mencerminkan merata atau timpangnya pembagian hasil pembangunan suatu negara di kalangan penduduknya. Para ekonom pada umumnya membedakan dua ukuran pokok distribusi pendapatan, yang keduanya digunakan untuk tujuan analisis dan kuantitatif tentang keadilan distribusi pendapatan.   Kedua ukuran tersebut adalah distribusi ukuran, yakni besar atau kecilnya bagian pendapatan yang diterima masing-masing orang; dan distribusi “fungsional” atau distribusi kepemilikan faktor-faktor produksi.  Dari kedua jenis distribusi pendapatan ini kemudian dihitung indikator untuk menunjukkan distribusi pendapatan masyarakat. Distribusi pendapatan perorangan (personal distribution of income) atau distribusi ukuran pendapatan (size distribution of income) merupakan ukuran yang paling sering digunakan oleh para ekonom.  Ukuran ini secara langsung menghitung jumlah pendapatan yang diterima oleh setiap individu atau rumah tangga tanpa memperdulikan sumbernya. Distribusi pendapatan fungsional atau pangsa distribusi pendapatan per faktor produksi (functional or factor share distribution of income) berfokus pada bagian dari pendapatan nasional  total yang diterima oleh masing-masing faktor produksi (tanah, tenaga kerja, dan modal).  Teori distribusi pendapatan fungsional ini pada dasarnya mempersoalkan persentase pendapatan tenaga kerja secara keseluruhan, bukan sebagai unit-unit usaha atau faktor produksi yang terpisah secara individual, dan membandingkannya dengan persentase pendapatan total yang dibagikan dalam bentuk sewa, bunga, dan laba (masing-masing merupakan perolehan dari tanah, modal uang, dan modal fisik).
2.               KONSEP DISTRIBUSI PENDAPATAN
Ada beberapa cara yang dijadikan sebagai indicator yang digunakan untuk mengukur kemerataaan distribusi pendapatan, yaitu:
2.1         Kurva Lorenz
Kurva Lorenz menggambarkan distribusi kumulatif pendapatan nasional dikalangan lapisan – lapisan penduduk. Kurva ini terletak didalam sebuah bujur sangkar yang sisi tegaknya melambangkan persentase kumulatif pendapatan nasional, sedangkan sisi datarnya mewakili persentase kumulatif penduduk. Kurvanya sendiri ditempatkan pada diagonal utama bujur sangkar tersebut. Kurva Lorenz yang semakin dekat ke diagonal (semakin lurus) menandakan distribusi pendapatan yang semakin merata, sebaliknya jika kurva Lorenz semakin jauh dari diagonal (semakin melengkung) menandakan distribusi pendapatan semakin tidak merata atau timpang. Hal ini mencerminkan keadaan yang semakin buruk.
2.2         Indeks atau Rasio Gini
Rasio gini merupakan alat ukur yang umum dipergunakan dalam studi empiris. Nilai gini antara 0 dan 1, dimana nilai 0 menunjukkan pemerataan yang sempurna, jika semakin besar nilai gini maka tingkat pemerataan semakin tidak sempurna. Dalam studi empiris terutama dalam single country, ternyata kemiskinan tidak identik dengan kesejahteraan, artinya ukuran diatas belum mencernminkan kesejahteraan. Kesejahteraan dalam suatu Negara mencerminkan seberapa besar kemiskinan yang ada dalam suatu Negara terrsebut.
2.3         Kriteria Bank Dunia
Criteria ketidakmerataan Bank Dunia didasarkan atas porsi pendapatan nasional yang dinikmati oleh tiga lapisan penduduk, yakni 40% penduduk berpendapatan rendah, 40% penduduk berpendapatan menengah, serta 20% penduduk berpendapatan tinggi. Ketidakmerataan distribusi pendapatan dinyatakan:
a)               Ketidakmerataan distribusi pendapatan dinyatakan parah apabila 40 % penduduk berpendapatan rendah menikmati kurang dari 12% pendapatan.
b)               Ktidakmerataan distribusi pendapatan dinyatakan sedang apabila 40% penduduk miskin menikmati antara 12 – 17% pendapatan nasional.
c)               Distribusi  pendapatan nasional dinyatakan cukup merata dan ketidakmerataan atau kesenjangna dinyatakan lunak apabila 40% penduduk berpendapatan rendah menikmati lebih dari 17% pendapatan nasional.

2.4         Rasio Kuznets
Rasio yang sering disebut sebagai rasio Kuznets ini (dinamai berdasarkan nama pemenang Nobel Simon Kuznets), yang sering dipakai sebagai ukuran tingkat ketimpangan antara dua kelompok ekstrem, yaitu kelompok yang sangat miskin dan kelompok yang sangat kaya di satu negara.

  1. PERKEMBANGAN KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN
Sebagai hasil dari penerapan berbagai cara untuk mencapai ukuran pembagian pendapatan di bawah ini disampaikan data mengenai koefisien Gini untuk periode 1964/65 sampai 1976 dan untuk periode 2002-2007, dan  persentase pendapatan yang diterima oleh berbagai kelompok masyarakat di Indonesia dari 2002 sampai 2007 untuk menghitung koefisien Kuznets.
Tingkat ketimpangan pembagian pendapatan  secara keseluruhan pada tahun 1964/65 hampir sama untuk perkotaan dan pedesaan dan termasuk pada ketimpangan yang sedang. Sedangkan pembagian pendapatan perkotaan di Jawa lebih merata dibandingkan di pedesaan Jawa, namun sebaliknya terjadi di Luar Jawa, yakni di pedesaan lebih merata.  Kalau kita bergerak dari tahun 1964/65 maka distribusi pendapatan di perkotaan Jawa selalu menjadi lebih timpang, sedangkan di daerah pedesaan di Jawa selalu menjadi lebih merata sampai pada tahun 1976.  Hal ini mungkin disebabkan oleh karena UUPMA dan UUPMDN dan beberapa kebijaksanaan lainnya yang mulai dilaksanakan pada awal pemerintahan Suharto lebih banyak dimanfaatkan oleh orang-orang kaya perkotaan di Jawa sehingga distribusi pendapatan di perkotaan Jawa menjadi lebih timpang.  Hal yang sebaliknya terjadi di pedesaan di Jawa, yakni program pembangunan pertanian dan pedesaan, terutama program BIMAS-INMAS, lebih banyak dinikmati oleh golongan miskin di Jawa sehingga distribusi pendapatannya menjadi lebih merata (koefisien Gini menurun).  Koefisien Gini secara keseluruhan di perkotaan menjadi lebih timpang, sedangkan di pedesaan sedikit menjadi lebih baik bila kita bergerak dari 1964/65 menuju 1976. 
Kalau kita bergerak dari periode 1970an ke periode 2000an, maka dapat kita katakan bahwa tidak terjadi perubahan yang berarti mengenai ketimpangan distribusi pendapatan di Indonesia, masih tetap secara umum berada pada ketimpangan yang sedang baik ditunjukkan oleh koefisien Kuznets maupun koefisien Gini.  Pada awal periode (2002-2004) bagian pendapatan yang diterima oleh 40 persen termiskin relatif tetap sekitar 20 persen dan bagian yang diterima oleh 20 persen terkaya juga tetap (sekitar 42 persen), sehingga koefisien Kuznets juga relatif konstan (bedanya 0,01 karena pembulatan), dan koefisien Gini juga menunjukkan hal yang sama dari 0,33 (pada tahun 2002)  menjadi 0,32 pada dua tahun setelah itu.   Dari tahun 2004 ke 2005 distribusi pendapatan menjadi sedikit lebih buruk, bagian yang diterima oleh 40 persen termiskin menurun dan bagian yang diterima oleh 20 persen terkaya meningkat sehingga koefisien Kuznets mengalami penurunan.  Hal ini juga ditunjukkan oleh koefisien Gini yang menunjukkan distribusi pendapatan menjadi lebih timpang.  Memburuknya distribusi pendapatan dari tahun 2006 ke 2007 (ditunjukkan oleh menurunnya koefisien Kuznets dan menaiknya koefisien Gini) mungkin dapat dijelaskan karena adanya kenaikan harga-harga sebagai akibat naiknya harga bensin ketika itu.  Kenaikan harga-harga rupanya lebih menguntungkan kelompok kaya dibandingkan dengan kelompok miskin, sebagaimana diperjuangkan oleh para demonstran yang menentang kenaikan harga premium waktu itu.

  1. KEBIJAKSANAAN DALAM MEMPERBAIKI DISTRIBUSI PENDAPATAN
Pilihan kebijaksanaan berikut ini berlaku untuk mengubah/memperbaiki distribusi pendapatan dan sekaligus memerangi kemiskinan.  Ada beberapa pilihan, yakni:
4.1   Perbaikan distribusi pendapatan fungsional melalui serangkaian kebijakan yang khusus dirancang untuk mengubah harga-harga relatif faktor produksi.  Kebijaksanaan ini dapat berupa:
1.   Upah buruh, dilaksanakan dengan menentukan tingkat upah minimum nasional dan regional, seperti yang dilaksanakan di Indonesia.  Pemerintah menentukan tingkat upah minimum yang lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat upah yang ditentukan di pasar bebas atas permintaan dan penawaran.  Dengan kebijaksanaan ini para investor menganggap buruh menjadi terlalu mahal dan mereka memilih teknologi produksi yang hemat tenaga kerja.  Bagian upah pada perekonomian nasional menjadi lebih kecil, dan kemungkinan jumlah orang miskin menjadi lebih besar.
2.  Bunga modal, dilaksanakan dengan menentukan harga modal terlalu murah dibandingkan dengan harga modal yang ditetapkan atas permintaan dan penawaran.  Ini bisa dikerjakan dengan, misalnya, pemberian kemudahan prosedur investasi, keringanan pajak bagi pengusaha, subsidi tingkat bunga (tingkat bunga yang lebih rendah untuk investasi), penetapan kurs valuta asing yang terlalu tinggi, dan penurunan bea masuk bagi impor barang-barang modal seperti traktor dan mesin-mesin otomatis relatif terhadap barang konsumsi.     
Dari hal diatas dapat  disimpulkan bahwa penghapusan distorsi harga faktor produksi sangat bermanfaat  dan penyesuaian harga memungkinkan satu negara meraih pemerataan pendapatan dan sekaligus memperbaiki taraf hidup kaum miskin, namun apa yang telah dikerjakan oleh Indonesia selama ini bertentangan, sehingga distribusi pendapatan tetap dan malah makin timpang dan jumlah orang miskin tetap dalam jumlah yang besar. 
4.2   Perbaikan distribusi ukuran melalui redistribusi progresif kepemilikan aset.
Hal ini akan sangat tergantung pada distribusi kepemilikan aset (sumber daya atau faktor produksi) di antara berbagai kelompok masyarakat, terutama modal fisik dan tanah, modal finansial seperti saham dan obligasi, serta sumber daya manusia dalam bentuk pendidikan dan kesehatan yang lebih baik.  
4.3   Pengurangan distribusi ukuran golongan atas melalui pajak yang progresif. 
Satu contoh yang diterapkan di Indonesia adalah pajak penghasilan perorangan dan badan yang mempunyai sifat progresif.  Pajak kekayaan, (akumulasi aset dan penghasilan) merupakan pajak properti perorangan dan perusahaan yang bersifat progresif, yang biasanya dikenakan kepada mereka yang kaya raya.
4.4   Pembayaran transfer secara langsung dan penyediaan berbagai barang dan jasa publik. 
 Transfer langsung dilaksanakan melalui BLT (bantuan langsung tunai) kepada orang miskin yang berhak menerima. Penyediaan barang dan jasa publik dilaksanakan melalui beras murah untuk orang miskin (raskin), penyediaan asuransi kesehatan bagi golongan miskin (jamkesmas).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar